Minggu, 07 Agustus 2011

Sepotong kisah senja

Seorang kawan pernah berkata “kita saudara” dan saya hanya diam. Dia lanjutkan lagi “kau bisa mengerti diriku” dan saya melongo heran. Dia pergi, saya merajuk menahan tangis dan akhirnya kami berpisah.

Waktu berlalu, dia kembali dan saya berada diujung jalan lain, dia memanggil dan saya hanya mampu menatap…maaf

“butuh berapa lama lagi menanti?” tanyanya pelan, dijawab hanya dengan senyum tipis,

 “10 mungkin” jawabku ringkas.

“Masih butuh lebih lama rupanya” dia membalik kata, dan saya hanya menjawab dengan diam.

“saya sudah melewatkan banyak bilangan, apa itu belum cukup?” mencoba menawar waktu.

“sudah begitu lamakah hitungan yang telah kau lewati?” kucoba turunkan sedikit harga

“Tapi sepertinya masih belum cukup untukmu” harga dirinya terusik, cukup kubalas dengan senyum menggoda.

“bukankah kita saudara? Saudara mampu mengerti…mampu lapangkan rasa ketika tersudut, sediakan maaf tanpa dipinta” akhirnya keluhan makin panjang dan saya mulai melemah.

“kau pergi tanpa menoleh, masihkah boleh dianggap saudara?” Mencoba membalas dengan tinggalkan luka

“ah..kau masih menyimpan banyak kenangan, sayangnya yang kau simpan adalah luka” dia menoleh kebelakang akhirnya.

“karena luka adalah bagian yang meninggalkan bekas,” ucap itu akhirnya tak tersimpan lagi

Helaan nafas terdengar melambat…”apakah luka hanya milikmu seorang? Apakah luka yang kurasa juga harus kuungkap dan kulepas pada angin?” dia berkelit dan sisi lain akhirnya diungkap dengan perlahan, hingga hanya angin yang memecah bisu yang kemudian tercipta.

“Maaf itu tidak perlu dipinta…bukankah sudah pernah kukatakan bahwa tidak perlu ada maaf dan terimakasih diantara kita” akhirnya kucoba memecahkan sunyi.

“hey…siapa yang meminta maaf padamu? Saya hanya ingin menggugat masa tunggu yang kau cipta” dia menjawab seolah mengolok.

Waktu bisa memutus banyak hal yang bukan hanya melebur banyak kenangan, tapi juga mengubah beberapa sosok. Jika kini dia menjadi asing bagiku, kuharap keasingan yang kutemui ini hanya karena sungkan, bukan karena waktu merubah kami satu sama lain.

“kau ingin tahu betapa waktu selama ini tidak dengan mudah kulalui, ada banyak yang mungkin cukup sendiri tanpa perlu dibagi, karena ketika tersampaikan belum tentu membuat semuanya terasa menyenangkan” dia mulai mengeluh panjang, ah..bukan keluhan, lebih kepada keinginan untuk dipahami.

“itulah dirimu, selalu ingin menyimpan segala sendiri, selalu mengatakan kita bersaudara tapi saudara macam apa yang menyembunyikan banyak hal dari saudaranya?” endapan emosiku sepertinya mulai terurai satu persatu diiringi oktaf suara yang mulai meninggi.

“hhh….Na, andai dirimu tahu betapa ingin kubagi semua cerita, lepaskan semua bungkusan kisah yang rapi tersimpan selama ini…tapi tiap ingin membaginya, tiap menemuimu dan melihat ekspresi wajahmu, semua menguap, hingga rencana yang telah kususun untuk membaginya tak tersisa. Saya lebih ingin mendengar ceritamu, ingin tertawa melihat caramu berkisah dan ingin itu lebih besar daripada ingin keluhkan kisahku padamu…ah sudahlah, boleh kita membahas yang lain diawal jumpa kita ini?” kali ini lebih panjang

Begitu banyak cerita yang akhirnya mengalir, dan entah sejak kapan saya merasa gagal mengenalnya dengan baik.
“saya pernah merasa mengenalmu seperti mengenal telapak tanganku sendiri, tapi mendengar semuanya entah mengapa saya merasa gagal sebagai teman, bahkan saya tak pantas kau anggap sebagai seudara…ah pembahasan ini sudah mulai membuatku lelah” yang akhirnya kataku ditutup helaan nafas panjang, dan berdiri dari dudukku.

“Baiknya hari ini perbincangan ini kita tutup, mentari sudah lelah mendengar kisah yang kita putar balik…mungkin kita biarkan kisah kita tertutup bersama tenggelamnya senja” lanjutku yang hanya dijawab oleh tatapan bingungnya sambil ikut berdiri.

“dan kesimpulan akhir yang bisa menjadi penutup?” tanyanya pelan

“yah kesimpulannya..kau pulang dengan selamat, Alhamdulillah” pendek dengan nada bercanda dan memasang wajah yang akan mengundang jitakannya.

“Kau hati-hati pulangnya, jangan sampai kemalaman” pesannya pendek lalu memutar tubuh membelakangiku.

“Tahukah kau….aku benci menatap punggung yang meninggalkanku, seakan-akan tidak akan pernah bertemu kembali”…lirihku pelan lalu memutar langkah berbalik, menatap senja.



Diselesaikan jauhh hari sebelumnya :D

Pemilik Mata Bintang

Tak pernah kuselami birunya langit dan lautan tanpa damai yang menyusupinya. Kau pernah menyebutku aneh, karena begitu tergila-gila pada laut, pada biru yang menjadi batas pandangku, hingga tiap gambar yang kupunya hanya tentang laut dan langit, tanpa dirimu atau mereka.

Biru...tak kuingat kapan pertama kali menyadari bahwa salah satu cintaku tertambat disana, pada sejuk yang akan bersemayam dengan kuat hanya karena tiba-tiba menatap langitNya dengan awan berarak memainkan imaji, gambar apa gerangan yang sedang mencoba tercipta....


“hidup ini penuh warna, jangan semua hanya biru” ucapmu saat lagi-lagi mulutku berkicau tentang biru.

“yeee…biarin, biru itu luas, sulit dijangkau…tidak pernah ada yang mampu menyentuh langit dan menggenggam lautan. Jadi kesimpulannya biruuu itu susah didapatkan” jawabku dengan jawaban yang sangat cepat.

“dasar maniak” itu istilahmu pada orang yang terlalu berlebihan menyukai sesuatu.
Kini, aku ingin bercerita padamu…bukan lagi tentang biru tapi tentang pemilik mata bintang, ayo siapkan telinga mendengarnya.

Tak perlu kusebutkan namanya ya, karena untuk hal ini kita selalu sepakat, nama biarlah jadi rahasia kisah kita. Dia mencuri perhatianku dengan mata dan senyumnya, paduan yang menunjukkan keMaha Besaran Sang Pencipta, dengan sikap malu dan kesan dewasa yang dibawanya ditiap langkah selalu berhasil membuatku berbalik setiap melihatnya.

Jika kau bertemu dengannya saya yakin kaupun akan jatuh cinta padanya, pemilik mata bintang-begitu aku menyebutnya-. Aku bahkan mulai menghafal satu persatu hal yang disukainya, mengingat kapan dia tersenyum dan berani melangkah menujuku.

Berbeda dengan yang lain, dia tidak menyambutku dengan antusias yang lebih, dia selalu menatapku dari kejauhan –aku bisa merasakannya- saat pandanganku kuarahkan padanya dia akan berpaling dengan sebelumnya tersenyum irit, mengingat tingkahnya ini ingin membuatku terbahak.

Tidak pernah ingin terlihat pintar dihadapanku, walaupun aku tahu dia punya banyak jawab untuk pertanyaan-pertanyaan aneh yang selalu kuajukan, dia akan diam sebelum aku memutuskan ingin mendengar suaranya, tahukah kau…dia mewakilimu.

Ah…baiknya hari ini kucupkan kisah tentangnya, kuharap kau baik-baik saja disana ketika akhirnya angin membawa kisah ini padamu.

Kumasukkan kembali lipatan kisah dalam lipatan kisah lain, karena kutahu, kisah ini takkan sampai padamu.


Diselesaikan di Bogor disela bel istirahat, 15 April 2011

Selasa, 02 Agustus 2011

Mimpi Lama Memanggil

Palembang, 2011 Juli dihari ke-13


Benang mimpi itu pernah kita pintal bersama
Menghiasinya dengan beragam warna
Disimpul senyum, teriakan semangat dan tawa ditiap sisinya
Hingga tak kita ijinkan lintasan lain merenggut mimpi
Mimpi…yang kita sulam…bersama

Semua indah kurasa, entah apa yang kau rasa
Karena walau kita bersisian, kutahu jiwamu kadang mengembun
Di lorong waktu  yang juga bersinggungan dengan mimpi lain
Dan kau meninggalkanku sendiri…lagi-lagi sendiri
Ah maaf…bukan kau yang pergi, tapi aku memilih memutari jalan lain

Dan semalam…kau mengingatkanku akan mimpi kita lagi
Mengitari biru, berkecipak dalam langit-langit senja                                           
Dan aku…terdiam, hanya itu yang mampu kulakukan sekarang
“aku punya mimpi lain sekarang” jawabku
“maukah kau tetap menunggu hingga mimpi baruku ini usai?” kutawari potongan janji baru

Kau…yah dirimu selalu begitu..selalu bersabar
Selalu setia menungguku menepati mimpi kita
Mimpi membawaku melihat biru yang selalu kau tawarkan
“jangan lama-lama ya mba pulangnya, saya pengen jalan bareng mba lagi” pintamu
Sunyi…diam…entahlah

Kuharap semesta meminta padaNya mengabulkan pintamu
Tiga ratus dua puluh dua hari..waktu yang harus kulewati
Hingga janji dimasa lalu bisa kita tepati….
Semoga...